Jakarta, Koranpelita.co – Kejaksaan Republik Indonesia diwakili Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Prof Asep Nana Mulyana mengikuti kegiatan The 29th Conference and General Meeting of the International Association of Prosecutors (IAP) yang berlangsung di Kota Baku Ajerbaizan.
Disela-sela kegiatan konfrensi tersebut JAM Pidum Asep sempat mengadakan pertemuan informal dan berlangsung santai dengan Jaksa Agung Singapura Lucien Wong di Baku Convention Centre Ajerbaizan, Senin (30/09/2024).
Asep menuturkan dalam pertemuan tersebut Jaksa Agung Singapura Lucien Wong sempat membahas dan menceritakan pengalamannya terkait implementasi penanganan perkara tindak pidana di Singapura dengan menggunakan mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA).
“DPA itu kewenangan yang ada pada Jaksa untuk melakukan penuntutan, namun sepakat tidak melakukan penuntutan dengan berbagai syarat dan kriteria tertentu,” kata Asep kepada Koranpelita.co, Selasa (01/10/2024) malam.
Menariknya, ucap dia, mekanisme DPA dalam penanganan perkara pidana adalah pertama kali yang murni dilakukan Attorney General Chamber (AGC) of The Republic of Singapore.
Dia menyebutkan manfaat positif penerapan DPA di Singapura yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan memperbaiki diri. “Tanpa harus mengalami dampak reputasional dan dampak ekonomi yang lebih serius sebagai dampak penuntutan pidana di pengadilan,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, melalui DPA memungkinkan Jaksa untuk mendapatkan kerja sama dari korporasi dalam menyelidiki korupsi atau kejahatan terkait lainnya. “Sekaligus mendorong perbaikan business process yang akan mencegah terulangnya kejahatan serupa di masa mendatang,” tutur mantan Kajati Jawa Barat.
Adapun, ungkap Asep, kasus yang diselesaikan dengan mekanisme DPA seperti diceritakan Jaksa Agung Singapura berawal ketika pada tahun 2017 dilakukan penanganan kasus Keppel Offshore & Marine Ltd yang terlibat skandal suap internasional terkait proyek pembangunan anjungan minyak di Brasil.
“Keppel menyuap pejabat di Petrobras perusahaan minyak milik negara Brasil sebesar 50 juta dolar Amerika lebih melalui perantara yang menyamarkan pembayaran sebagai biaya konsultan,” tutur Asep yang juga Ketua II Persaja.
Dia menyebutkan atas penangahan perkaranya di Amerika Serikat dilaksanakan mekanisme DPA oleh United States Department of Justice. “Atas dasar itu jugalah Singapura yang telah melaksanakan investigasi lintas negara Amerika Serikat, Brasil, dan Singapura, memberikan Peringatan Bersyarat (Conditional Warning) kepada Keppel untuk membayar ganti rugi sebesar 422 juta dolar Amerika sebagai ganti tuntutan pidana, dimana Keppel menerima syarat dalam Conditional Warning.”
Dia mengatakan dalam Conditional Warning, Keppel diwajibkan untuk melakukan langkah-langkah perbaikan internal, termasuk menerapkan kebijakan anti-korupsi yang lebih ketat dan berkolaborasi penuh dengan pihak berwenang selama penyelidikan.
“Langkah ini memberi kesempatan bagi perusahaan untuk menghindari tuntutan pidana, asalkan mereka memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh regulator,” ujarnya.
Di sisi lain, ucap Asep, jumlah ganti rugi yang diperoleh pemerintah jauh melebihi jumlah denda apabila perusahaan dituntut secara pidana, yang mungkin berpotensi hanya dikenai sanksi kurang dari 1 juta dolar Amerika.
Dia mengatakan keberhasilan dalam kasus Keppel mendorong Singapura memperluas dan membakukan penggunaan mekanisme DPA dalam penanganan kasus korporasi lainnya.
Singapura kemudian mengesahkan regulasi formal tentang DPA pada tahun 2018 melalui Criminal Justice Reform Act 2018, khususnya dalam bagian ketiga dari Undang-Undang tersebut, yang tertuang dalam Pasal 149A hingga 149G dari Criminal Procedure Code (CPC).
Regulasi ini, katanya, memberikan kerangka hukum yang jelas dan transparan untuk memastikan penggunaan DPA di Singapura dilakukan secara tepat dan efektif, dengan pengawasan untuk menangani kejahatan korporasi, yang memungkinkan korporasi untuk menyelesaikan kasus korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya tanpa melalui proses pengadilan.
“Asalkan perusahaan tersebut mau bekerja sama dan melakukan perbaikan kerugian secara menyeluruh,” ujarnya seraya menyebutkan dari penjelasan Jaksa Agung Singapura bahwa Singapura juga sedang menangani perkara lainnya dengan mekanisme DPA.
“Selain memperkuat perannya sebagai negara yang serius dalam menegakkan hukum dengan pendekatan yang lebih fleksibel namun tetap efektif,” ujarnya.(yadi)