Semarang, Koranpelita.co – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Asep Nana Mulyana mengatakan aparat penegak hukum agar jangan hanya menjadi corong dari undang-undang untuk sekedar memenuhi yuridis perkara dan mengabaikan tujuan pidana dalam arti sebenarnya.
“Tapi aparat penegak hukum juga harus mengetahui tujuan hukum lain. Disamping untuk kepastian, keadilan, kemamfaatan, namun hukum juga bertujuan untuk cinta kasih. Itulah bagaimana cara penggunaan Spiritual intelegence ” kata JAM Pidum dalam Seminar Nasional diselenggarakan Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (IKAFH UNDIP) di Aula Sidang UNDIP Semarang, Selasa (08/10/2024).
Karena itu JAM Pidum meminta aparat penegak hukum harus memiliki rasa dan memainkan perannya dalam setiap pelaksanaan tugas dengan menampung aspirasi masyarakat serta memahami nilai dan makna dari suatu peraturan.
“Sehingga kasus nenek minah dan kakek sarmin tidak terulang lagi kedepannya,” kata dia saat menjadi nara sumber dalam Seminar Nasional dengan tema “Urgensi Berhukum dengan Spiritual Inteligence dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Pidana yang Membahagiakan Rakyat”.
Masih soal spiritual intelligence, JAM Pidum juga menyampaikan Jaksa dalam menangani perkara harus mempertimbangkan nilai keadilan bila telah melihat adanya perdamaian. “Disamping itu perlu menggunakan pendekatan kesatuan dari tiga tujuan hukum dengan tidak mempertentangkan satu dengan lainnya. Sehingga teori Gustav Radbruch dapat ditinjau kembali,” ujarnya.
Dibagian lain dia juga menjelaskan arah politik hukum nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang RPJMN 2020 – 2024 yang menyebutkan tiga tujuan pembangunan hukum. “Yaitu penerapan pendekatan keadilan restoratif, optimalisasi peran lembaga adat dan lembaga yang terkait dengan alternatif penyelesaian sengketa, serta mengedepankan upaya pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban,” ucap mantan Kajati Jawa Barat ini.
Artinya, tutur dia, paradigma penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami perubahan signifikan. “Pendekatan yang selama ini bersifat retributif, yaitu berfokus pada pembalasan atau penghukuman pelaku kejahatan, mulai beralih ke pendekatan modern yang lebih restoratif, korektif, dan rehabilitatif,” ujarnya.
Perubahan ini, katanya, merupakan bagian dari upaya menciptakan sistem hukum yang tidak hanya didasarkan kepastian hukum saja tetapi juga untuk menjunjung tinggi nilai keadilan dan efektif dalam memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
JAM Pidum pun mengungkapkan Kejaksaan telah melaksanakan lebih dari 5.000 penanganan perkara berdasarkan keadilan restoratif termasuk perkara narkotika dan penanganan perkara menggunakan pendekatan restoratif juga dapat menghemat keuangan negara.
“Selain itu dengan pendekatan keadilan restoratif dapat melakukan terobosan atau tindakan lainnya berdasarkan keadilan restoratif seperti perkara memelihara landak di Kejaksaan Tinggi Bali yang terdakwanya telah dituntut bebas sebagai terobosan hukum,” ujarnya.
Dalam seminar nasional tersebut dia menekankan juga pentingnya penerapan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System/ICJS) di Indonesia yang memungkinkan berbagai elemen dalam proses penegakan hukum, mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, hingga eksekusi, untuk saling berkoordinasi dan bekerja secara sinergis.
Sehingga, kata dia, dengan adanya ICJS, setiap tahap dalam proses hukum dapat berjalan lebih efisien dan transparan serta dapat mengurangi potensi penyimpangan dan memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan,” ujarnya.
“ICJS bisa sebagai upaya untuk memastikan proses penegakan hukum di Indonesia tidak hanya berjalan sesuai prosedur, tetapi dalam penerapannya juga terdapat saling sinergi dalam satu kesatuan penegakan hukum didasarkan prinsip keadilan yang kita junjung tinggi,” ujar JAM Pidum.(yadi)