Jakarta, KoranPelita.co – Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dipastikan tidak akan hadir memenuhi panggilan Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagi saksi kasus minyak goreng di Gedung Bundar pada JAM Pidsus, Jakarta Rabu (02/08/2023) besok.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan kepastian tersebut disampaikan ML melalui pengacaranya dari Kantor NKHP Law Firm dalam surat resmi Nomor: 178/NKHP/VII/2023 tanggal 31 Juli 2023.
“Alasan ML tidak bisa hadir untuk memenuhi panggilan yang kita layangkan karena sedang mendampingi pengobatan sang istri,” kata Ketut dalam keteranganya, Selasa (01/08/2023).
Dia menyebutkan terhadap ketidakhadiran Lutfi untuk panggilan pertama besok maka tim Jaksa penyidik akan melayangkan kembali surat panggilan berikutnya.
Namun dia belum mengetahui kapan pemanggilan kedua dilayangkan dan kepastian jadwal atau waktu pemeriksaan Lutfi selanjutnya. “Karena belum ada info dari tim Jaksa penyidik,” ujarnya.
Ketut mengatakan Tim jaksa penyidik sebelumnya telah melayangkan surat panggilan secara patut kepada ML untuk pertamakali guna diperiksa sebagai saksi pada Rabu 2 Agustus 2023.
Panggilan tersebut, tutur Ketut, tertuang dalam surat panggilan saksi Nomor: SPS-2494/F.2/Fd.2/07/2023 tanggal 27 Juli 2023 dimana saksi diperiksa untuk tiga tersangka korporasi yaitu PT Wilmar Group, PT PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group.
Adapun pemanggilan terhadap Lutfi termasuk sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan putusan Mahkamah Agung terhadap lima terpidana dalam kasus yang sama yaitu Indrasari Wisnu Wardhan.
Karena putusan Mahkamah Agung membebankan kerugian negara sebesar Rp6,47 triliun dalam kasus minyak goreng kepada ketiga korporasi yan kini menjadi tersangka dan bukan kepada Indrasari dan kawan-kawan.
Ketut pernah menyebutkan tim jaksa penyidik perlu memanggil dan memeriksa AH untuk menggali dari sisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya selaku Menko Bidang Perekomian.
“Antara lain dengan menggali dari sisi evaluasi kebijakan dan dari sisi pelaksanaan kebijakan. Karena kebijakan ini sudah merugikan negara yang cukup signifikan sebesar Rp6,47 triliun,” beber Ketut.(muj)