Artikel ini dibuat oleh : Dr KRMT Roy Suryo, Anggota APDI, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen
KORANPELITA.CO – Besok pagi, Rabu 24 April 2024 -sesuai dengan Putusan MK No. 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No. 2/PHPU.PRES-XXII/2024 kemarin- KPU akan menetapkan Paslon No. 2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka selaku Presiden dan Wapres terpilih berdasarkan Pemilu 2024. Meski diwarnai kontroversi disana sini, demontrasi di berbagai tempat dan 3 “Dissenting Opinion” oleh 3 Hakim MK yang dipuji-puji oleh masyarakat sebagai “Hakim yang masih memiliki mata hati dan etika”, yakni Prof. Saldi Isra, Prof. Arief Hidayat, Prof Eni Nurbaningsih, putusan MK tetap berlaku secara final dan mengikat.
Demontrasi di berbagai tempat yang disebut diatas sebenarnya bukan main-main, karena di berbagai sosial media juga muncul informasi tentang beberapa daerah di Indonesia yang dengan sangat keras mengecam hasil putusan MK tersebut, bahkan tak sedikit diantaranya yang sudah mengancam akan melakukan tindakan lebih jauh lagi meski hal tersebut tentunya sedapat mungkin kita hindari karena akan membuat disintegrasi bangsa bahkan pemisahan diri. Sementara disisi lain, para Profesor, Guru Besar dan berbagai Civitas Akademika berbagai Kampus pun juga tak kalah tegasnya memberi ultimatum kepada hasil pemilu yang disebut-sebut sangat tidak demokratis dan bahkan membuat Indonesia terpuruk ke titik nadir pasca reformasi 1998 ini.
Selain itu bahkan di berbagai platform, mulai dari WAG, TikTok, Instagram, X-space (Twitter), FaceBook, YouTube Dan lain sebagainya beredar banyak sekali animasi yang menggambarkan “Nisan Demokrasi” alias “Demokrasi sudah mati” (1998-2024) dengan berbagai teknologinya, dari yang sederhana sampai yang memanfaatkan AI (Artificial Intelligence). Kreatifitas para netizen memang sangat tampak digunakan untuk meluapkan ekspresi bahkan emosi mereka, wajar ini era IoT (Internet-of-Thing) dan Society 5.0, jadi ekspresi masyarakat tidak berarti hanya diukur dari ratusan atau bahkan ribuan rakyat yang demo didepan Patung Kuda Monas kemarin seperti tahun 1998 atau bahkan saat 1974 dan 1967 silam, karena memang sekarang era dan teknologinya berbeda.
Kondisi ini tidak hanya didalam negeri, tetapi di mancanegara banyak diaspora Indonesia yang menyuarakan hal yang sama, sebagaimana layaknya salah satu Amicus Curiae kemarin adalah berasal dari para ahli hukum Indonesia yang bermukim di Amerika. Tidak hanya itu, media-media internasional sekelas New York Times, The Economist, The Guardian pun yang sebelumnya juga sudah sangat mengkritisi kondisi di Indonesia, sekarang juga tampak menuliskan laporan komprehensif membedah bagaimana jalannya sidang MK kemarin berserta putusan kontroversialnya.
Hal ini sebenarnya sangat merugikan (baca: memalukan) bagi Indonesia, karena kondisi nir etika dan rusaknya demokrasi disini bukan lagi dimengerti di dalam negeri tetapi sudah di manca negara, seantero dunia.
Oleh karena itu pemerintahan kedepan sebenarnya menanggung beban sangat berat akibat ulahnya sendiri yang berani menggunakan segala cara untuk memenangkan kontestasi Pemilu 2024 kemarin dan berujung rakyat yang nantinya akan jadi (di) korban (kan). Contohnya adalah tidak dianggapnya Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan oleh CEO Apple, Tim Cook kemarin. Bagaimana mungkin sebuah negara yang penduduknya 278,7 juta dan jumlah pengguna ponselnya mencapai 353,3 juta, pengakses Internet 185,3 juta jiwa dan pengguna sosial media mencapai 139 juta, bisa kalah investasinya dengan Vietnam yang jumlah penduduknya 84 juta jiwa saja.
Investasi Apple disana sekitar 400 triliun Dong (mata uang Vietnam) atau setara sekitar Rp 255 triliun di negeri tersebut, dibanding Indonesia yang hanya sebesar 1,6 trilyun alias hanya 0.62 % (baca: nol koma enam puluh dua Persen) saja.
Investasi Apple inipun hanya berbentuk semacam lembaga pendidikan/Academy di Bali (catatan saya sebelumnya Apple sudah memiliki 3 infrastruktur pendidikan serupa disini, yakni di Tangsel, Batam dan Surabaya).
Sementara di Vietnam Apple telah menciptakan sekitar 200.000 lapangan pekerjaan, karena disana Apple memiliki 25 pemasok di tahun 2022, naik 4 dari 21 pemasok tahun 2020. Beberapa diantaranya yaitu Foxconn, GoerTek, Luxshare, Intel, Samsung Electronics dan Compal. Sedangkan Foxconn sebagai mitra pemasok utama Apple juga konon berencana mengalihkan sebagian pabriknya dari Tiongkok. Indonesia harusnya juga bisa mendesak agar Apple membangun pabrik atau proses manufaktur disini, mengingat produk Apple cukup laris bagi masyarakat Indonesia. Namun, Apple belum mempertimbangkan permintaan ini mengingat kondisi dan citra Indonesia di titik nadir akibat proses demokrasi yang buruk dan bahkan sempat menjadi perbincangan PBB saat dipertanyakan oleh Komisi HAM tentang cawe-cawe Presiden dalam Pemilu 2024 lalu.
Dalam putusan MK kemarin sekali lagi sayangnya kondisi Pemilu 2024 yang sangat karut marut, menggunakan Teknologi (SIREKAP, Sistem Informasi Rekapitulasi Pemilu), seharusnya bisa menjadi teknologi yang membanggakan dengan proses OCR & OMR-nya, namun “putusan MK” seakan menguatkannya hanya jadi “pepesan kosong” sebagaimana disebut dalam sidang sebelumnya. Hal ini lagi-lagi sangat ironis, sebab SIREKAP sebenarnya justru Alat Utama Pemilu 2024 sesuai PKPU No 05/2024. Mengapa para Wakil Tuhan di MK kurang cermat dalam menetapkan detail putusannya, khususnya tentang SIREKAP? Ini yang saat ini juga sedang dibedah oleh APDI (Aliansi Penegak Demokrasi Indonesia) untuk menyampaikan banyak catatan kritisnya.
Mencermati ini, apakah kemudian kami dari APDI akan terus mengkritisi jalannya pemerintahan terpilih ini?, YA (dengan huruf Kapital), sudah pasti. Meskipun hasil putusan MK bersifat final dan mengikat, dan harus kita hormati bersama, namun bukan berarti kita kemudian harus seperti kerbau yang dicokok hidungnya kemudian hanya melenguh dan ikut kemana Majikannya pergi, TIDAK (huruf kapital juga). InsyaaAllah kami bersama segenap masyarakat yang kritis, termasuk para Civitas Akademika, Guru Besar, Profesor, Doktor, Master, Sarjana dan Mahasiswa (bukan “Mahasewa” spt yg Demo membela KPU didepan MK sebelumnya), Kami yang masih memiliki idealisme tinggi, cinta NKRI dan insyaaAllah berintegritas, akan terus bersikap kritis dan progresif mengawal jalannya pemerintahan republik yang kita cintai bersama ini.
Pemanfaatan teknologi informasi sebagai ilmu pengetahuan aplikatif pengawas pemerintahan mendatang bisa dari segala sisi, termasuk pandangan makro ekonomi, Psikologi dan Kajian Hukumnya. Karena niscaya kalau semua referensi itu digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia, tentu akan membuat negara ini makin sejahtera dan bukan salah urus jatuh kedalam bencana akibat Nepotisme dan kejahatan demokrasi yang baru saja terjadi. Salah satu kajian ilmu yang bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat diantaranya dengan menggunakan Ilmu Manajemen OCB (Organizational Citizenship Behavior) yang akan membuat masyarakat lebih bijak dan memiliki Literasi, tidak mudah dikelabui alias dibodohi dengan semacam Bansos alias teori Gentong Babi, apalagi “sak Blbabi-babinya” (baca: berpola TSM/Terstruktur Sistematis Masif) sampai menghabisman uang rakyat ratusan trilyun).
Pengawasan ini tentu tidak mudah, karena harus memperbaiki mekanisme termasuk diberbagai platform birokrasi (sebagaimana detail putusan MK soal Bansos dari Presiden yang dikritisi kemarin), juga harus menyadarkan kembali ke 580 wakil rakyat yang telah terpilih sebelumnya untuk Periode 2024-2029 juga, karena seharusnya kalau mereka sudah kritis sebenarnya tidak perlu lagi ada pengawas “Extra parlementer” sebagaimana sekarang yang banyak terjadi akibat mandulnya DPR dan DPD selaku Anggota MPR-RI. Tapi terus terang apa yang mau diharapkan kalau sekedar usulan hak angket saja sangat sulit dan besar kemungkinan gagal, ditambah keterpilihan mereka juga disinyalir banyak yang menggunakan cara-cara bukan berdasar kapasitas dan kapabilitas tetapi hanya soal “Isi Tas”.
Kesimpulannya, pra dan pasca 20 Oktober 2204 mendatang atau saat dilantiknya presiden dan wapres Indonesia baru, kami tidak ingin akan ada “Dirty Government” apalagi “Dirty Regime” sebagaimana yang sudah diprediksi, diulas, dirinci dan dikhawatirkan dalam dua Film edukasi dokumenter “Dirty” yang sudah ada sebelumnya (Dirty Vote & Dirty Election). Sebagaimana juga statemen beberapa elit dari partai politik pasca putusan MK kemarin yang tidak mempermasalahkan mau sebagai oposisi atau koalisi, kami menyatakan intinya tetap harus kritis yang bermakna positif bagi cita-cita Indonesia Emas 2045 yang akan datang. APDI akan tetap mengawal proses reformasi dan demokrasi di republik ini dengan berbagai cara kami, termasuk penggunaan Artificial Intelligence dalam Teknologi Informasi sesuai kompetensi kami. Bak nenek moyang bangsa Indonesia yg telah lebih dahulu berjuang di seantero nusantara, dengan mengucap “Selamat Presiden dan Wapres terpilih, layar sudah terkembang, pantang untuk digulung kembali dan Kami tetap awasi”. (*)