Jakarta, Koranpelita.co – Dalam penanganan dan pemberantasan korupsi, Kejaksaan Agung selama kepemimpinan Jaksa Agung Burhanudin kini lebih menitik-beratkan kepada kasus-kasus yang berkualitas dengan kerugian negara yang besar serta berdampak negatif bagi masyarakat. Dengan pelakunya orang-orang berpengaruh serta ketokohan sehingga menjadi tidak tersentuh hukum.
Jaksa Agung pun mengungkapkan beberapa kasus mega korupsi telah berhasil ditangani Kejaksaan Agung selama ini antara lain dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya, Asabri, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula.
“Hingga terbaru PT Timah yang diduga mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah. Adapun status kasus-kasus tersebut diantaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan,” tutur Jaksa Agung dalam keterangan tertulisnya, Selasa (09/04/2024).
Dia mengakui korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya.
Karena itu, katanya, Kejaksaan menjadi aparat penegak hukum yang selangkah lebih maju dalam penanganan perkara korupsi yakni dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif.
Selain itu, tuturnya, menerapkan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.
“Hal itu semua diterapkan untuk kepentingan pemulihan keuangan negara, akibat perbuatan korupsi yang sangat serakah,” kata mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ini.
Kerugian Negara Harus Nyata
Dia pun menuturkan dalam kasus korupsi kini kerugian negara dalam perkembangannya harus benar-benar terjadi atau nyata (actual loss) setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016, yang menghilangkan frase “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Sehingga menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss) dan hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan,” katanya.
Namun dia menegaskan mengenai perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal berbeda. “Karena dalam kasus korupsi yang sifatnya extraordinary crime, menjadikan pelaku tidak saja berasal dari perorangan saja, tetapi juga melibatkan korporasi (badan hukum) dan konglomerasi (gabungan antara korporasi yang bekerja sama dengan pengambil kebijakan), sehingga dampaknya terjadi pembiaran dan berkelanjutan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ujar Jaksa Agung, perhitungan kerugian dalam korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut.
“Antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya,” ucapnya.
Di sisi lain, tuturnya, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, yaitu mengembalikan kepada kondisi awal.
“Kerugian juga memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak sehingga membutuhkan waktu dan biaya mahal, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun,” ujar Jaksa Agung.
Dia menambahkan kerugian perekonomian juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat setempat, yakni konflik sosial, ketidakstabilan sosial, termasuk menghilangkan pendapatan masyarakat seperti petani, nelayan, dan perkebunan.
Hal itu semua, katanya, tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala. Kerusakan ekologi, menurut para ahli, mengakibatkan penurunan kualitas alam dan lingkungan seperti polusi yang mengganggu kesehatan masyarakat, dimana membutuhkan waktu dan biaya mahal untuk merehabilitasinya.
Karena itu Jaksa Agung menyampaikan korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tapi titik beratnya kerugian negara dan perekonomian negara seperti proyek-proyek strategis nasional yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
Dalam pencegahannya, kata Jaksa Agung, maka perlu diberikan kebijakan pengamanan dan pendampingan dari aparat penegak hukum. “Sehingga dalam penegakan hukum khususnya perkara korupsi, tidak bisa lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional mengingat terjadinya perampasan ekonomi masyarakat, perampokan pendapatan Negara, hingga disejajarkan dengan kejahatan kemanusiaan yang sifatnya extraordinary.”
Jaksa Agung menekankan juga kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan Negara secara masif. “Sebab, sudah banyak negara yang runtuh akibat terjadinya korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara,” ujarnya.
“Meski demikian kita tidak boleh kalah dengan koruptor. Kita harus menjadikan pelaku tindak pidana korupsi sebagai musuh bersama (public enemy),” ucap Jaksa Agung.(yadi)