Legislasi Partisipatif: Sebuah Ikhtiar Menyerap Aspirasi Masyarakat Dalam Proses Pembahasan RUU KUHP

(Foto dok. goegle.com)

Oleh : Prof. Dr. Pierre Suteki, S.H., M.Hum.

Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang

SEMARANG, koranpelita.co – Sebagaimana diketahui, Undang-Undang (UU) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya membutuhkan waktu lama dengan prosedur yang panjang. Hal ini  ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tahap pembentukan undang-undang dimulai dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang memang seharusnya dilaksanakan secara cermat dan hati-hati karena menyangkut kepentingan bernegara dan orang banyak. Akan tetapi jika pembentukan undang-undang yang relatif lama justru tidak akan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum. Selain itu hukum (aturan) yang seharusnya mengatur peristiwa saat ini akan menjadi semakin tertinggal mengingat perkembangan sosial masyarakat yang begitu cepat berubah. Maka dari itu dibutuhkan solusi untuk mengatasi permasalahan pembentukan undang-undang tersebut seperti, memungkinkan pembentukan undang-undang melalui jalur perpu dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum. Selain itu pemberian kewenangan kepada institusi yang sudah ada dapat dilakukan untuk melakukan tinjauan undang-undang yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Bagaimana dengan Rancangan Pembentukan KUHP? Kabar yang beredar berbunyi: “RKUHP: Hina DPR, Jaksa, Polisi, hingga Walkot Dipenjara 18 Bulan.”

Bola panas Rancangan KUHP terus bergulir di DPR-pemerintah. Rencananya, draf itu akan disahkan pada Juli 2022. Salah satunya mengancam warga yang menghina penguasa, seperti anggota DPR, Polisi, Jaksa, hingga Wali Kota.

Aturan itu tertuang dalam Pasal 353 ayat 1. Berikut ini bunyi draf Rancangan KUHP yang didapatkan wartawan dari Kemenkumham sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (15/6/2022):

Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Dari sisi proses legislasi, apakah draft ini sudah cukup melibatkan rakyat untuk berpartisipasi dalam perumusan delik tersebut, mengingat ada fakta hukum berupa PENGHAPUSAN PASAL PENGHINAAN PRESIDEN oleh MK.

BACA JUGA:  Kasusnya Belum Final, Kejagung Titip Lahan PT Duta Palma Group kepada Kementerian BUMN

Kita ingat pada 4 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Namun anehnya, baru-baru ini publik negeri ini dibikin terkejut ketika pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasal tersebut kembali mengemuka, tercantum dalam draf rancangan undang-undang (RUU) KUHP, dan telah diajukan kepada Komisi III DPR melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Kendati demikian, Presiden Jokowi menjamin niat ”menghidupkan” kembali pasal tersebut bukan untuk membungkam rakyat. Jokowi mengatakan pasal penghinaan presiden justru untuk melindungi mereka yang kerap mengkritik pemerintah lewat cara yang baik demi kepentingan umum.

Presiden Jokowi menilai aturan yang ada saat ini hanya pasal karet yang bisa memidanakan semua pengkritik pemerintah, tergantung pada interpretasi aparat penegak hukum.

Di sisi lain, kita ingat pula, MK justru menolak  judicial  review usulan Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Pasal-pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Konklusi MK menyatakan kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (constitutional  right) yang harus dilindungi  hukum.

Berdasar atas fakta-fakta ini, saya kita proses pembuaatan RUU, khususnya RKUHP ini belum dapat dikatakan berprosea secara partisipatoris dan cenderung Pemerintah dan DPR bersikap STUBBORN, bahkan menghidupkan kembali pasal-pasal yang nota nebe telah dinyatakan “mati” oleh MK. Di sini terjadi ZOMBIE HUKUM, khususnya terkait dengan pasal penghinaan kepada pejabat negara, terkhusus lagi terhadap presiden dan wakil presiden.

Terkait dengan proses pembentukan RKUHP ini, BBC mengeluarkan berita berjudul “RKUHP: Keengganan pemerintah buka draf terbaru dinilai tunjukkan proses legislasi ‘ugal-ugalan’ dan ‘gejala otoriter’. Berita ini cukup menohok Pemerintah.
Sebenarnya UU PPP 12 Tahun  2011 sudah mengatur tahap-tahap pembentukan RUU, yakni wajib ada Naskah Akademis dan NA tersebut wajib disoundingkan kepada seluruh elemen masyarakat sebagai sarana partisipasi rakyat. Jadi NA itu memang harus dipajang di depan publik untuk mendapatkan masukan dari rakyat. Kalau proses itu tidak transparan, bisa disebut sbg proses yang ugal-ugalan dalam pembentukan PPP sehingga rawan gugatan ke MK baik dari sisi formil maupun sisi materiil jika telah menjadi UU.

BACA JUGA:  Kalapas Cipinang dan Kapolres Metro Jakarta Timur Perkuat Sinergi Keamanan

Rezim otoriter memang berkarakter tidak mau tahu dengan aspirasi rakyat dan proses komunikasi hukum yang baik dalam PPP.  Andaikan pun ada partisipasi akan diminimalkan dan terkesan hanya bersifat formalitas.

Sebelumnya, pemerintah telah mengesahkan sejumlah UU kontroversial di tengah kritik publik, seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, serta revisi UU P3. Dengan semua fakta tersebut, apakah kita masih berada dalam alam demokrasi atau itu semua ilusi? Memang betul, kita harus menyadari bahwa pada prinsipnya tidak mungkin dibuat UU yang mampu memuaskan semua pihak. Di sinilah dari sisi politik terjadi pertarungan kepentingan politik dan memang hukum itu produk politik. Demokrasi tidak menuntut benar salah tapi suara mana yang paling banyak itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu keputusan atau kebijakan.

UUKPK, UUCILAKA, UUIKN dll sebagai bukti bahwa meskipun sebagian rakyat menggugatnya, tapi Presiden dan DPR plus MK tetap stubborn untuk menjalankan UU tersebut karena memang secara hukum UU tersebut tetap sah dan konstitusional. Menjadi kewajiban rakyat akhirnya untuk tunduk, patuh dan menyerah terhadap UU tersebut. Melawan, siap berhadapan dgn APH dan masuk jeruji besi. Di sini yang berlangsung bukan demokrasi tetapi pseudo democracy.

Terlepas dari aspek formalitas proses pembuatannya, secara substantif saya berpandangan bahwa sebenarnya persoalan penghinaan terhadap penguasa ini bukan barang baru. KUHP kita sekarang pun juga mengatur soal larangan penghinaan terhadap pejabat publik tersebut di muka umum. Pada prinsipnya siapa pun sebenarnya dilarang untuk menghina orang lain apalagi pejabat publik. Yang menjadi persoalan itu bentuk-bentuk penghinaan yang tidak jelas sehingga pasal ini dapat dimaknai “ngaret”. Penerapannya sangat tergantung rezim penguasa dan ketentuan pasal ini berpotensi membungkam suara kritis dari warga masyarakat. Intinya justru kontraproduktif dengan proses demokratisasi di negeri ini bahkan cenderung represif sesuai syahwat penguasa.

BACA JUGA:  Praperadilan Tiga Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah untuk Bank Kalbar Terhadap Kejati Kandas

Efek UU jika didominasi syahwat penguasa adalah bahwa hukum akan dijalankan secara represif sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan rezim. Ketikan hukum dimanfaatkan sekedar sbg alat legitimasi sosial maka akan sulit diharapkan peran partisipasi rakyat dlm PPP optimal. Akhirnya, penggunaan UU jauh dari tujuan menyejahterakan rakyat.

Penerapan hukum yang represif akan digunakan oleh rezim berkuasa untuk membungkam suara kebenaran dan keadilan rakyat dan akan dipakai untuk menyingkirkan lawan-lawan poltik. Dipakai sebagai alat gebuk kekuasaan. Ketika hukum sudah didominasi oleh syahwat kekuasaan maka hubungan pemerintah dgn rakyat ibarat hubungan antara bangsa  penjajah dengan bangsa yang dijajah. Rakyat akan diperas dan dijadikan musuh bahkan pihak tertentu akan digiring agar menjadi common enemy. Equality before the law, presumption of innosence, non-retroactive principle dll are just the myth that daily lie.

Pada akhirnya perlu ditegaskan bahwa penerapan delik penghinaan yang berlebih yang berkaitan dengan hak warga Negara untuk menyampaikan pendapat atau kritik terhadap pemerintah atau kebijakan pejabat public akan mematikan secara perlahan demokrasi, sebaliknya penggunaan hak warga Negara untuk menyampaikan kritik secara berlebihan terhadap pejabat Negara dan pemerintah akan melahirkan sikap anarkis. Di sinilah relevansinya penerapan delik penghinaan secara proporsional dengan pengayoman terhadap masyarakat.

Semarang, Kamis: 30 Juni 2022