Menuju Polri Yang Presisi, Presisi Untuk Siapa ?

Penulis : Kolonel (Purn) Sugeng Waras.

“Senjata andalan POLRI PRESISI ( Prediktif, Responsible, Tranparansi yang berkeadilan) nyaris tidak konsisten diimplementasikan dengan sungguh sungguh !”

JAKARTA, Koranpelita.co – Ini berdasarkan hal hal fenomenal, aktual dan faktual seperti kasus kasus tragedi maut penembakan terhadap enam laskar FPI pengawal HRS di Km 50 jalan tol Jakarta Cikampek beberapa tahun lalu, masih meringkuknya HRS dan Munarman ditahanan tanpa kejelasan dan kepastian hukum, masih mangkraknya langkah langkah konkrit atas meninggalnya enam laskar FPI tersebut, bak menunggu lupanya rakyat bangsa atas peristiwa ini.

Kini menyusul kasus dadakan yang menimpa Habib Bahar Smith (HBS) yang dinilai menjadi pelangi antara rentetan peristiwa jendral Dudung, jendral Ahmad Fauzi dan pengkaitan tragedi km 50, yang cukup menghebohkan para pendukung HBS yang merasa tidak adil atas penahanan HBS dalam pandangan kasus debat terbuka antara Brigjen AF dan HBS dipondok pesantren HBS, disisi lain polisi mengambil langkah dan keputusan/ penetapan mengaitkan ceramah HBS terkait peristiwa penembakan di Km.50 dengan sangkaan menyebarkan berita kebohongan dan ujaran kebencian.

Layak menjadi bahan pertanyaan langkah langkah Polri, Komnasham RI, BIN (Badan Inteljen Negara) dan DPR RI yang nampak abaikan relevansi hukum dan HAM dengan metode pengalihan isu, pengaburan, pengelabuhan dan penyesatan, yang layak dimaknai sebagai konpirasi kejahatan terhadap negara yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masiv.

Disisi lain pembiaran, pelambatan dan pura pura sibuk terhadap ulah ulah Deny Siregar, Armando, Permadi Aryo, Ahok, LBP ,Erick Tohir dan lain lain, terkait masalah masalah korupsi, TKA, PPKM, Vaksin dan pelecehan sosial yang nyaris membuat gaduh dan kacaunya negara ini.

Anehnya, seolah bangsa ini kendor, masa bodoh, apatis, pesimis terhadap perkembangan dan dinamika yang terjadi, seolah jenuh, putus asa dan tidak berkutik.

Lantas…akan berlangsung teruskah fenomena semacam ini ?

Akankah Polisi hanya akan memberlakukan PRESISI ini untuk dan kepada pihak pihak tertentu ?

Seharusnya kita paham dan sadar bahwa indikasi hukum yang dipolitisasi sangat kental dengan pemihakan aparat hukum terhadap rezim ini yang cenderung menindas, memojokkan,mengkriminalisasi, mendiskriminasi, mengintimidasi dan mengekskusi terhadap para ulama yang dianggap menghambat dan merintangi jalanya roda pemerintahan.

Terkait hukum yang dipolitisasi, sesungguhnya dengan mudah dan gamblang adanya indikasi link up antara asing, aseng dan para oknum penguasa dan pejabat, yang layak kita sebut para pengkianat, penjilat dan pecundang.

Disisi lain, bergesernya kekuatan dan kemampuan para pihak yang terdzolimi semakin lemah dan cerai berai, sebaliknya dari pihak penguasa semakin kuat dan tegar.

Dimana letak kesalahanya ?

Seharusnya semua pihak sadar dan paham, berbicara sejarah tidak lepas dari rangkaian kudeta dan bubarnya PKI pada era Pak Harto, yang nota bene kuatnya peran TNI terutama Angkatan Darat yang konsisten membela Idologi , falsafah dan pandangan hidup bangsa, yang terkenal dengan Pancasila.

Faktanya kini Pancasila di kotak katik, digoyah goyah, melalui Undang Undang BPIP / HIP yang Panjanya diketuai RIBKA, yang pernah menulis, aku bangga jadi anak PKI.

Saya kerucutkan pada proses hukum, saat ditangkap dan ditahanya Ruslan Buton atas tuduhan membuat gaduh negara atas tulisanya yang esensinya permintaan Jokowi mundur dari Presiden.

Padahal ini hanya presepsi sepihak, yang sangat bertentangan dengan presepsi lain yang memformulasikan menjadi unsur unsur positif atas tulisan itu (fenomena, Presiden adalah seorang negarawan, permohonan mudur dalam upaya menghindari perang saudara dan pertumpahan darah).

Dari cacat dan salahnya proses dan prosedur hukum saat itu, menjadi pelajaran bagi tim advokasi, lawyer atau pengacara yang mengawal dan mendampingi HBS.

Jika kita telusur kembali, seharusnya sinkron antara isi SPDP (Surat Pemanggilan Dimulai Penyidikan) dengan acara pemeriksaan, dalam arti terkait kasus perdebatan terbuka antara Dan Rem 061/Sk Brigjen Ahmad Fauzi dengan HBS dipondok pesantren HBS di Bogor.

Faktanya tidak demikian, sehingga proses hukum terkesan kilat dan maraton, yang seakan mengabaikan teori sebab akibat, yang menyatakan sudah memadai terpenuhinya syarat bukti dan saksi dalam gelar perkara dan putusan status tersangka kepada HBS.

Padahal, jika dalam pemeriksaan awal terhadap HBS diawali pertanyaan kesehatan juwa raga, setelah pertanyaan mengarah pada materi, HBS berhak menolak menjawab pertanyaan penyidik yang tidak relevan dengan SPDP, yang bisa berlanjut kepada penundaan/ penangguhan pemeriksaan.

Tim hukum HBS telah mengajukan surat penangguhan penahanan dan nasi belum menjadi bubur, bisa saja tim hukum HBS mengajukan pra peradilan yang merupakan haknya, apalagi sangkaan atas kebohongan dan ujaran kebencian tidak valid karena, berita kebohongan tentang penyiksaan terhadap korban sebelum / setelah meninggal dunia akan terbantahkan dari data dan fakta hasil forensik kesehatan yang memperlihatkan bekas luka lebam dan robekan robekan terjangan peluru tajam ketubuh para korban.

Dilain pihak ada indikasi perlindungan dan pembelaan terhadap para oknum pelaku penembakan dan ketidak tranparansian kolaborasi pihak kepolisian dengan KomnasHam RI atas penguatan pernyataan telah terjadinya tembak menembak antara polisi dengan laskar FPI pengawal HRS.

Semoga saja, Tim hukum HBS akan bisa menyusun dan membagi habis tugas kepada kelompoknya, sehingga tidak mubazir, efektif, efisien dan tidak mengalami kempes/ bocor halus dari dalam.

Wait and see.

(Bandung, 5 Januari 2022, Sugeng Waras)