Berguru Pada Jepang

Oleh: Siti Khotimah

Penulis adalah guru disebuah yayasan di Bandung.

Koranpelita.co – Dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional, sejumlah guru yang tergabung dalam Forum Guru Honorer Bersertifikasi Sekolah Negeri (FGHBSN) kembali turun ke jalan melakukan aksi damai di berbagai daerah pada Kamis, 25/11/2021 kemarin. Aksi yang sama juga digelar di Monumen Perjuangan Rakyat Jabar (JPNN.com, 25/11/2021).

Dari sejumlah tuntutan yang mereka layangkan, pada dasarnya bertumpu pada satu persoalan utama, yaitu kepastian hukum menyangkut kesejahteraan guru non-PNS.

Memang jika dicermati, perhatian pemerintah terhadap guru honorer masih terbilang sangat memprihatinkan. Jauh panggang dari harapan, bila diukur dengan pengabdian mereka sejauh ini. Padahal, keberadaan guru amatlah penting bagi masa depan bangsa itu sendiri.

Tanpa seorang guru suatu bangsa pasti akan mengalami kejumudan. Guru adalah ujung tombang generasi anak bangsa, karena merekalah yang mengisi dasar-dasar pendidikan anak bangsa sehingga memiliki kesadaran bahwa masa depan bangsa ada di pundak mereka.

Karena itu, tidak berlebihan jika sebuah ungkapan bijak menyatakan, bahwa pendidikan merupakan pintu peradaban dunia. Pintu tersebut tidak mungkin bisa dibuka kecuali dengan satu kunci; yaitu seorang guru yang peduli terhadap peradaban dunia. Artinya, bahwa peradaban bangsa Indonesia amatlah tergantung pada guru sebagai peletak dasar pendidikan anak-anak kita.
Sejenak kita bisa belajar pada Jepang ketika dihantam bom nuklir pasukan Sekutu yang menyebabkan Nagasaki dan Hiroshima luluh lantah. Yang pertama kali ditanyakan Kaisar Hirohito setelah bangun di tengah reruntuhan bangunan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup. Sebab, Hirorito sadar betul betapa berharganya seorang guru untuk menata ulang kehidupan Jepang yang sudah rata dengan tanah.

Hirohito tidak bertanya sisa jumlah pasukan tempur, pejabat negara, pakar ekonomi, bahkan tidak peduli dengan kekayaan negara yang masih tersisa. Yang ia cari adalah “sisa guru yang masih bisa mengajar”. Maka melalui guru-guru inilah Hirohito kembali membangun peradaban Jepang yang diawali dari peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Dan hasilnya bisa kita lihat sekarang, Jepang kembali berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju di dunia, baik di sektor pendidikan, teknologi, ekonomi, maupun sektor-sektor lainnya.

Padahal jika dibandingkan dengan Indonesia, sumber daya alam Jepang yang bisa dieksplorasi guna menopang pendapatan negara amatlah terbatas. Namun meski demikian, kualitas tenaga didik di negeri Sakura tersebut sangatlah tinggi. Hal itu tentu tidak lepas dari perhatian besar pemerintah setempat terhadap tenaga pengajarnya. Karena secara filosofis, Jepang memang memegang teguh keyakinan konfusianisme yang mengajarkan tentang penting pengetahuan, harmoni dan stabilitas yang bersifat hirarkis (Margaret Puspitarini, 2014).

Bahwa pemerintah yang (dalam keyakinan mereka) merupakan mandat langsung dari Tuhan, berkewajiban untuk menjunjung tinggi pengetahuan, sehingga tenaga pendidiknya pun harus memperoleh layanan terbaik demi terciptanya generasi-generasi terdidik dengan kualitas tinggi.
Filosofi Jepang di atas sesungguhnya tidak jauh beda dengan amanah UUD 1945, terutama di pasal 3 ayat 2 yang menyatakan, bahwa pemerintah mengusahkan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, sebagai penyelenggara pendidikan, tanggung jawab pemerintah tentu tidak hanya terbatas pada sektor infrastrukturnya saja, namun lebih penting lagi adalah tanggung jawab pada suprastrukturnya, yaitu tenaga pendidik. Namun justru di sinilah titik kelemahan pemerintah.

Karena itu, pemerintah Indonesia perlu meningkatkan sensitivitasnya terhadap dunia pendidikan dengan diawali dari pemenuhan kesejahteraan para guru secara adil dan berkemanusiaan. Sebab, guru bukanlah buruh kuli bangunan yang fungsinya hanya sebatas pelengkap. Tetapi guru adalah arsitektur yang akan mendesain format masa depan pembangunan bangsa. (red)