Memaknai Danantara : Peluang dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia

Achmad Nur Hidayat.

Artikel ini dibuat oeh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

KORANPELITA.CO – Babak Baru BUMN Superholding dan Transformasi Struktural

Pada Selasa kemarin, 4 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengetuk palu pengesahan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang ketiga, melahirkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).

Lembaga ini kini berperan sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia, dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS atau setara Rp10.000 triliun.

UU ini menandai transformasi besar dalam sejarah perekonomian Indonesia.

Fungsi strategis Kementerian BUMN dilucuti, menjadikannya sekadar regulator tanpa kewenangan operasional.

Semua kendali pengelolaan dan investasi BUMN kini beralih ke Danantara. Keputusan ini membawa peluang besar, namun juga menimbulkan risiko sistemik yang sangat tinggi bagi Indonesia.

Sayangnya, pengesahan UU BUMN dilakukan dengan minim partisipasi publik. Keputusan ini dibuat secara elitis, tanpa konsultasi luas kepada masyarakat atau para pemangku kepentingan yang akan terdampak langsung.

Padahal, BUMN bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga merupakan aset publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pengesahan tanpa mekanisme partisipasi ini bisa menjadi objek gugatan masyarakat sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya melibatkan publik.

Ketidakterlibatan publik dalam pengambilan keputusan strategis ini menunjukkan adanya kepentingan elite yang lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan manfaat bagi rakyat.

BUMN memiliki peran vital dalam layanan publik, dan jika liabilitas keuangan BUMN tidak terkendali, maka dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat melalui kenaikan harga layanan dasar atau bahkan kemungkinan bailout besar-besaran menggunakan dana negara.

Leverage Aset dan Beban APBN yang Berkurang

Salah satu argumen utama dari pendirian Danantara adalah optimalisasi aset BUMN untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam membiayai pembangunan ke depan.

Dengan memanfaatkan mekanisme finansial yang lebih kompleks, Indonesia kini memiliki alat investasi baru untuk menopang proyek infrastruktur dan pembangunan nasional tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

BACA JUGA:  Kasus Korupsi Proyek PDNS, Pejabat Kementerian Kominfo Mulai Diperiksa Jaksa

Secara teori, skema ini memungkinkan negara untuk mengurangi defisit fiskal dengan mendanai pembangunan melalui investasi berbasis aset, bukan utang.

Model ini telah diterapkan di negara lain, seperti Temasek di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia, yang sukses menciptakan pertumbuhan jangka panjang tanpa membebani APBN.

Namun, meski memiliki potensi, sistem ini bukan tanpa risiko. Leverage aset yang agresif dapat menjadi pedang bermata dua jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Selain itu, dengan minimnya pengawasan publik akibat tidak adanya partisipasi dalam pembentukan regulasi ini, maka risiko salah urus semakin meningkat

Risiko Besar di Tengah Minimnya Pengalaman

Sebagai entitas baru, Danantara belum memiliki pengalaman dalam mengelola dana investasi besar.

Dengan tanggung jawab mengelola aset senilai Rp10.000 triliun, ada beberapa risiko besar yang harus diperhatikan diantaranya adalah :

Pertama, Risiko Manajemen dan Tata Kelola yang Lemah

Tanpa pengalaman yang memadai, Danantara berisiko mengalami salah kelola investasi, baik dalam pemilihan proyek maupun dalam pengawasan kinerja perusahaan di bawahnya.

Dengan jumlah aset yang sangat besar, tantangan dalam menyusun sistem tata kelola yang baik menjadi krusial.

Kegagalan dalam menetapkan standar manajemen yang tepat dapat berujung pada investasi yang merugi, proyek gagal, atau bahkan praktik korupsi yang sulit dikendalikan.

Selain itu, keberhasilan Danantara sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas.

Tanpa sistem pengawasan yang ketat dan independen, ada kemungkinan besar bahwa Danantara dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kelompok tertentu.

Kedua, Risiko Gejolak Pasar Global

Sebagai SWF, Danantara akan terlibat dalam investasi global yang bisa terkena dampak langsung dari krisis ekonomi, fluktuasi nilai tukar, atau bahkan perang dagang antara negara besar.

Ketidakstabilan ekonomi global saat ini dapat menjadikan nilai investasi Danantara bisa mengalami penurunan signifikan, menyebabkan kerugian besar yang akhirnya dapat berdampak pada ekonomi nasional.

BACA JUGA:  Tuding Menteri KP Tak Becus, MAKI pun Tak Yakin Kades Kohod Bayar Denda Rp48 M

Krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun 2008 atau dampak dari ketegangan geopolitik dapat menghantam nilai investasi Danantara.

Tanpa strategi mitigasi risiko yang kuat, Indonesia bisa mengalami guncangan finansial yang mengancam stabilitas fiskal.

Ketiga, Potensi Intervensi Politik dan Moral Hazard

Meskipun SWF seharusnya dikelola secara profesional, sejarah menunjukkan bahwa lembaga investasi negara sering kali menjadi alat politik.

Jika Danantara digunakan sebagai instrumen politik atau sarana bailout BUMN bermasalah, maka potensi kegagalannya akan semakin tinggi.

Sebagai contoh, beberapa negara lain telah mengalami masalah akibat pengelolaan dana investasi yang terlalu dipengaruhi oleh kepentingan politik.

Danantara bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan negara yang merugi tanpa pertimbangan bisnis yang sehat, yang akhirnya akan merugikan rakyat.

Keempat, Kehilangan Kedaulatan Ekonomi

Karena Danantara berpotensi menarik investor asing untuk bekerja sama, ada risiko ketergantungan berlebihan pada investasi luar negeri.

Jika Danantara tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat, kepemilikan aset negara bisa tergeser oleh investor asing, mengurangi kedaulatan ekonomi Indonesia.

Bergantung pada investor asing juga berarti Indonesia akan lebih rentan terhadap perubahan kebijakan ekonomi global. Jika ada krisis atau perubahan aturan yang tidak menguntungkan, Indonesia bisa kehilangan kendali atas aset strategis yang seharusnya menjadi milik negara.

Kementerian BUMN Kini Tanpa Taring

UU BUMN yang baru secara drastis mengurangi peran Kementerian BUMN.

Jika sebelumnya kementerian memiliki wewenang untuk menentukan arah strategis BUMN, kini perannya hanya sebagai regulator yang terbatas dalam kebijakan.

Perubahan ini menimbulkan dampak signifikan:

Tidak ada pengawasan langsung terhadap Danantara.

Semua keputusan strategis kini ada di tangan superholding ini, bukan di Kementerian BUMN.

Melemahkan kontrol terhadap BUMN. Dengan minimnya kewenangan, Kementerian BUMN tidak bisa lagi secara langsung mengintervensi atau mengawasi kinerja BUMN.

BACA JUGA:  Pemprov Banten Tambah Rp139 Miliar Penyertaan Modal Bank Banten

Potensi ketidakstabilan akibat birokrasi baru. Dengan adanya entitas baru yang bertanggung jawab atas aset negara, proses pengambilan keputusan bisa menjadi lebih lambat dan berbelit.

Jangan Main-main dengan Aset Negara

Presiden Prabowo Subianto harus sangat berhati-hati dalam menindaklanjuti UU BUMN ini. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, ia harus memastikan bahwa:

Keputusan investasi Danantara didasarkan pada kajian mendalam, bukan kepentingan politik.

Dibentuk dewan pengawas independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas.

Keppres yang mengatur Danantara harus jelas dan mengutamakan kepentingan nasional.

Risiko global dan leverage finansial harus dikelola secara profesional agar tidak berujung pada krisis keuangan.

Jangan sampai aset BUMN dijadikan jaminan investasi yang berisiko tinggi, karena ini bisa membawa Indonesia pada ancaman ekonomi serius jika gagal dikelola dengan baik.

Antara Harapan dan Kekhawatiran

Pendirian Danantara sebagai sovereign wealth fund terbesar di dunia memang membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mempercepat pembangunan tanpa bergantung pada utang luar negeri.

Namun, keberhasilan skema ini sangat bergantung pada bagaimana tata kelola dan pengawasan terhadap Danantara dilakukan.

Dengan minimnya partisipasi publik dalam pengesahan regulasi ini, ada kekhawatiran besar bahwa keputusan ini lebih sarat kepentingan elite dibandingkan kepentingan rakyat.

Jika salah langkah, risiko keuangan yang ditanggung bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan.

Prabowo dan pemerintahannya harus mengantisipasi skenario terburuk, memastikan regulasi yang ketat, dan memastikan bahwa Danantara tidak menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia.

Karena jika gagal, seluruh aset negara menjadi taruhannya. (*)