Jaksa Agung: “Central Authority” Perampasan Aset Idealnya Kewenangan Kejaksaan

Jakarta, Koranpelita.co – Dalam konteks “Central Authority” perampasan aset idealnya kewenangan tersebut berada di Kejaksaan yang selain memiliki kewenangan penyidikan, penuntutan juga eksekusi dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana.

Karena itu, tutur Jaksa Agung Prof (HC) Dr ST Burhanuddin, agar proses perampasan aset dapat dilakukan secara efektif dan optimal, penting “Central Authority” dilaksanakan Kejaksaan sebagai satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar).

Jaksa Agung menyampaikan hal tersebut saat mengulas orasi ilmiah Jaksa Agung Muda Pembinaan (JAM Pembinaan) Prof (HC) Dr Bambang Sugeng Rukmono yang dikukuhkan sebagai Profesor dan Guru Besar Kehormatan Bidang Ilmu Hukum Pidana Korupsi dan Pemulihan Aset oleh Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jumat (28/06/2024).

Orasi ilmiah yang disampaikan JAM Pembinaan Prof (HC) Dr Bambang Sugeng Rukmono berjudul “Mewujudkan Central Authority Sebagai Bagian Integrated Justice System di Bawah Kewenangan Kejaksaan sebagai Upaya Optimalisasi Asset Recovery”.

Jaksa Agung mengatakan pandangannya terkait dengan kewenangan Kejaksaan sebagai Central Authority sejalan dengan gagasan JAM Pembinaan. “Solusi yang ditawarkan dapat menjadi pendorong percepatan penanganan perkara. Khususnya dalam penelusuran dan perampasan aset di luar negeri serta dapat memperkuat sistem peradilan di Indonesia,” tuturnya.

Dia sebelumnya mengungkapkan salah satu tantangan dan kesulitan terbesar penanganan korupsi adalah proses penyitaan aset di luar yurisdiksi Indonesia. “Karena para penegak hukum dalam mengejar aset perlu perizinan birokrat yang membuat penegakan hukum menjadi lambat.”

Sementara, katanya, dalam proses penegakan hukum pro justicia berdasarkan hukum acara, Kementerian Hukum dan HAM yang hingga kini sebagai “Central Authority” tidak mengambil bagian di dalamnya.

“Sehingga ini menjadi kendala bagi Kementerian Hukum dan HAM selaku Central Authority karena tidak tahu secara rinci substansi kasus posisi suatu perkara, yang berdampak pada terhambatnya proses perampasan aset,” ujar Jaksa Agung.

Oleh karena itu, kata dia, sejalan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, kewenangan fundamental yang dimiliki Kejaksaan adalah melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.

Adapun, kata Jaksa Agung, parameter keberhasilan Kejaksaan menangani korupsi tercatat dengan jumlah pengembalian keuangan negara yang besar seperti pada tahun 2023 yaitu total pengembalian aset mencapai Rp4,467 triliun

Menurutnya capaian tersebut memperjelas peran institusi Kejaksaan dalam pemulihan aset di dalam sistem peradilan pidana terpadu menjadi sangat krusial. “Baik ditinjau dari kesejahteraan negara sampai dengan terangkatnya derajat penegakan hukum Indonesia khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi,” ujar mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.

Oleh karena itu, kata Jaksa Agung, suatu kebanggaan dan kehormatan baginya mengulas orasi ilmiah yang disampaikan Prof (HC) Dr Bambang Sugeng Rukmono. “Pada prinsipnya kami sangat mengapresiasi dan mendukung gagasan yang disampaikan dalam rangka pembaharuan hukum di Indonesia,” ujar Jaksa Agung.

                                                                                       Gagasan Baru

JAM Pembinaan Prof (HC) Dr Bambang Sugeng Rukmono dalam sambutan pada inagurasi mengungkapkan tentang urgensi “Central Authority” menjadi bagian dari integrated justice system di bawah Kejaksaan untuk mengoptimalisasi perampasan aset hasil korupsi yang berada di luar negeri.

Menurutnya pengembalian aset negara dapat ditinjau dari teori kemanfaatan sebagai tujuan hukum. “Dimana jika aset hasil korupsi dikembalikan kepada negara maka akan memberikan kemanfaatan bagi negara untuk mensejahterakan masyarakatnya.”

“Rumitnya perampasan aset hasil korupsi di luar negeri salah satunya karena proses birokrasi yang tidak efektif yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi lemah,” kata mantan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat ini.

Sementara, kata  dia, banyak negara maju yang menempatkan central authority menjadi bagian integrated justice system di bawah Kejaksaan Agung misalnya Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Filipina.

“Gagasan tersebut termasuk gagasan yang baru dan jika diterapkan akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia,”  ucap alumnus FH UNS tahun 1983 ini.

Kebaruan gagasan ini, tutur dia, yakni pertama rekonstruksi kelembagaan central authority dalam rangka efektivitas penuntutan, kedua rekonstruksi kelembagaan central authority dalam asas dominus litis, asas oportunitas, dan single prosecution system serta efektivitas asset recovery di luar negeri. (yadi)