Dr. H. Wahidin Halim: Pilkada 2024, Dibutuhkan Orang Nekat Tanggung Risiko

PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) 2024 serentak sudah dicanangkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mulai untuk dilaksanakan.

Penulis , Drs H. Syafri Elain SH  mewawancari Dr. H. Wahidin Halim yang menjadi Walikota Tangerang dua periode yakni 2003-2008 dan 2008- 2013 dan Gubernur Banten periode 2017-2022. Berikut pandangan Wahidin Halim sebagai doktor ilmu politik yang akrab disapa WH tentang Pilkada 2024:

Apa pendapat Bapak tentang calon Walikota Tangerang pada Pilkada 2024 ini?

Rekrut Pilkada terbatas sebagai pemimpin. Maksudnya, mereka yang sudah mengikut Pemilu Legislatif (Pileg) yang menang maupun kalah sudah kehabisan energy baik tenaga maupun finasial, tidak cukup hanya modal kapasitas politik. Modalitas yang tidak terukur.

Oleh karena tidak terukur jadi masalah?

Ya,karena tidak terukur sehingga pesta demokrasi sekarang boros baik dari sisi penyelenggara maupun calon. Kalau mengandalkan sumber daya dari calon (Caleg), mereka sudah kehabisan dana bagi yang kalah maupun yang menang, sama. Mereka harus berfikir dua kali mana kala menjadi calon kepala daerah.

Lantas bagaimana?

Uang habis dan tenaga habis baik calon menang maupun yang kalah. Bagi caleg yang menang ketika ikut kontestasi Pilkada harus mengundurkan diri sebagai anggota legislative. Tidak bisa dengan cara spekulasi.

Tapi kenapa, khususnya Kota Tangerang banyak orang mau mencalonkan diri?

Nanti dulu. Dilihat secara terukur berfikir logis, secara logika politik kalau dia kalah, akan kehilangan sebagai caleg, jadi anggota dewan. Dengan pengorbanan yang luar biasa.

Bagaimana dengan calon bukan kader partai atau bukan politisi?

Kalau rekrutmen di luar politisi, mereka tidak punya kapasitas politik. Begitu banyak dana operasional tapi juga mahar politik, sekarang pakai mahar politik dan harus bayar. Dan itu harus diihitung. Bagi pengusaha, dia akan berfikir karena tidak ada paket hemat, asumsi pembiayaan terukur. Misalnya biaya sosialisasi dan mahar harus bayar.

Sekarang ini, apakah ada  yang disebut incumbent atau petahana?

Incumbent atau petahana berbeda dengan dulu. Sekarang tidak memiliki legalitas secara politik maupun secara sosial. Tidak mungkin lagi dia menggerakkan infrastruktur.  Sekarang praktisme terjadi secara terbuka dan secara jelas. Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tadinya kita harapkan kondusif, hilang.

Oh kini berbeda kondisi Dengan Pilkada beberapa tahun lalu?

Kalau dulu pejabat bisa menggerakkan seluruh potensi karena ada birokrasi untuk itu. Di sana ada SDM (Sumber Daya Manusia) yang cukup, mereka bisa diarahkan. Sekarang tidak bisa

lagi dan ini tidak lagi menggembirakan bagi politisi maupun peminat Pilkada. Hal ini dibutuhkan orang nekat dan siap menanggung risiko.

Kenapa hal itu bisa terjadi?

Transaksional politik  dan pakmatisme politik itu ada dalam variable utama. Hal ini berbeda dengan Pemilu 2014 dan 2019. Sangat beda.

Ada calon yang mengeluarkan dana besar kalah sehingga tidak ada limitative. Terus partisipasi masyarakat terbelah. Orang beranggapan hak politiknya digunakan benar-benar memberikkan kontribusi. Itu namanya political kontribusian. Orang mau memilih karena ada kontribusi, “Wani piro?” Hal ini disampaikan secara terang-terangan. (Bersambung)

Sebagai orang pernah menjadi peserta kontestasi, apa yang perlu dilakukan?

Saya sebagai pelaku menyarankan kepada para calon, eforia para calon kepala daerah sekarang tidak sedahsat dulu. Kalau orang sekadar calon, dia tetap membutuhkan biaya karena tidak ada makan siang yang gratis. Minum kopi yang gratis. Pasti ada modal. Setiap calon harus punya modal, kalau calon punya modal pas-pasan, investasi sosial pas-pasan ya, mau apalagi?

Adakah perubahan perilaku dalam penyelenggarakan Pilkada?

Kalau dulu variable yakni modal sosial, modal ekonomi, dan legalitas politik. Seandainya dia lulus sebagai pemenang, dia punya modal politik tapi dia tidak punya modal ekonomi karena telah terkuras habis. Kalaupun  dia dimodalin, biaya tidak limitative karena biaya cukup besar. Kalau kita asumsikan per orang Rp 150.000,- kalau dikali 500.000 orang untuk Kota Tangerang misalnya, berapa? Ya bisa mencapai Rp 75 miliar. Itu minimal, kalau kita totalitas hitung perjiwa mulai dari mobilisasi warga, dilengkapi APK (alat peraga kampanye). Sudah tidak punya modal itu, dia juga tidak punya komoditas.

Lantas apa yang dilakukan oleh calon?

Bagaimana membangun agar punya legalitas, dia harus punya personal branding. Latar belakang yang punya korelasi dan hubungan dengan komunitas politis agar mendapat kepercayaan. Itu butuh biaya dan bukan asumsi.

Jadi di tengah kondisi begini, kita harus berfikir secara obyektifitas sesuai dengan kapasitas diri kita. Tidak cukup modalitas dan belum lagi bicara soal tas dan isinya. Itu menjadi variable yang menentukan dan tadinya itu hanya variable tambahan.

Tadi Bapak menyebutkan tas dan isinya, maksudnya?

Kalau dulu tas itu sebagai komplementer untuk mendukung kegiatan-kegiatan. Tapi tas itu sekarang ada di depan. Kalau dulu, kita cukup makan bareng dengan tim. Sekarang tim tidak bisa diajak makan bareng. Itu penjelasannya.

Lantas apalagi?

Sekarang sudah tidak ada lagi marwah dan mahkotanya, terputus hubungan masyarakat dengan pemerintah. Berapa banyak kah yang membutuhkan sehingga pemerintah tidak lagi mendapat penghargaan dari masyarakat. Di mata masyarakat sama saja, tidak ada urusan dengan dia, yang kepala daerahnya.

Apa efeknya?

Partisipasi pemilih semakin menurun  karena masyarakat tidak merasa ada kepentingan adanya pemerintah. Pemerintah hadir dan tidak hadir, masyarakat tidak punya kepentingan.

 Apa dampaknya terhadap kegiatan pada Pilkada?

Jalan yaitu hubungan pemerintah, sehingga turun, partisipasi. Di mata rakyat. Hal itu membuat partisipasi masyarakat turun. Yang bicara sekarang adalah orang elit atau mengaku elit, merasa tokoh atau minta ditokohkan. Sementara peran tokoh sejak tahun 2000 sudah runtuh oleh masyarakat. Di mata masyarakat tidak ada lagi, sudah tidak mendapatkan legitimasi, kepercayaan. Tokoh ada kekuatannya pada pemimpin formal yang punya legitisamsi, bukan sekadar pengakuan. Sekarang sudah kehilangan, masyarakat sudah tidak percaya.

Apakah ada pergeseran kepercayaan terhadap Pemerintah?

Menurut WH – Survei terakhir 2012 masyarakat percaya kepada Ketua RT. Tidak lagi percaya tokoh dan pemimpinan agama, itu sudah runtuh. Sekarang pun sudah runtuh dengan adanya politik kemarin (pemberian bansos secara besar-besaran-red).  RT sebagai bak penampung distribusi bukan sembako tapi money politk (politik uang).

Berapa banyak caleg yang kecewa karena hal itu. Peran tokoh agama tidak lagi bisa diharapkan, tidak bisa lagi memobilisasi warga di sekitarnya untuk mendapat dukungan.

Bagaimana dengan calon kepala daerah Kota Tangerang? Apakah muncul calon lebih dari satu pasang?

Bisa satu pasang dan bisa juga lebih. Kalau hanya satu pasangan calon, risikonya lebih kecil. Pilkada itu bagusnya kompetitif tapi calon itu sama-sama berpegang teguh kepada moralitas dengan memegang prinsip politik yang baik. Artinya, tidak saling berlomba untuk melakukan politik uang.

Antisipasinya bagaimana?

Kita sekarang sudah tahu masyarakat sudah tercebur ke transaksional. Bagaimana merehabilitasinya tidak gampang. Sudah ada imajinasi dari calon bahwa uang itu segalanya. Yang masuk ke otak depan adalah uang. Jadi pertarungannya mereka mengandalkan transaksional untuk memenangkan pertarungan. Bagi pengusaha siapa pun calon harus punya modal.

Bagaimana mengubahnya?

Ya, perlu waktu. Itu sudah termasuk internalisasi nilai, sikap sebagian besar masyarakat. Orang yang punya modal sosial, dari sekian ribu masyarakat ada yang tidak mau dibeli. Berapa persen? Cuma 16 persen tapi dia tidak menentukan kemenangan. Pada Pemilihan kepala daerah harus mendapat dukungan sebesar 52 persen. Apalagi calon kepada daerah yang tidak punya duit.

Bagaimana dengan Pilkada Gubernur Banten? Ya Sama saja. (Syaril Elain/sul).